Selama gue menjadi seorang manusia yang dikaruniai sebuah hati dan perasaan oleh Tuhan,
gue hampir selalu suka diam-diam sama cewek. Ketika melihat ada cewek lewat, biasanya gue cuman butuh pandangan sekejap seperti kecepatan cahaya, lalu tiba-tiba..zleebb, gue langsung jatuh cinta. Biasanya pula, ketika udah berani nyoba ngubungin mereka, gue dikacangin habis-habisan. Kalaupun ada, yang bales direct message ke gue malah bidan-bidan gatel entah darimana.
Tapi, gue pernah deket dengan seseorang, dengan kecepatan lebih lamban dari biasanya.
Malam ini kembali mengingatkan gue pada tahun 2013,
dimana waktu itu
gue masih berada di masa SMA.
Gue kenal sama cewek ini waktu masa orientasi, dimana waktu itu zamannya anak-anak kelas XII seperti gue menjadi super idola bagi cewek-cewek yang baru masuk. Awalnya biasa aja, gak ada tanda-tanda kalo suatu hari nanti gue bakal bisa jalan terus have lunch sama dia. Tapi entah kenapa, perasaan gue waktu itu bilang: "gila, bungas banar inya nih.."
Lama-kelamaan, seiring berjalannya waktu di SMA, gue jadi tambah deket sama dia. Gue inget pernah bela-belain dateng tiap hari buat liat dia latian. Gue inget pernah janjian sama dia di kantin pas lagi istirahat. Gue inget dia waktu itu dengan polosnya dateng ke kantin seorang diri, terus gue tanya: "kenapa, kada belajaran kah?"
"Hehe.." dia senyum-senyum manis, "..bolos kak.."
Ajaib memang.
Dengan statusnya dia sebagai salah satu cewek populer di sekolah, dengan semudah itu dia melontarkan jawaban kepada orang yang stratanya sangat berbeda jauh dengan dia. Gue waktu itu adalah orang yang kalem, cupu, gak banyak omong, dan suka ngutang sama bibi kantin.
Kedekatan ini berlanjut hingga gue masuk kuliah. Dia pernah ngejanjiin gue buat ketemu pas gue udah pulang, pernah pula waktu itu dia bela-belain dateng pagi-pagi ke bandara untuk nganterin keberangkatan gue. Saat itu gue jadi mikir kembali: apa memang cocok hubungan ini untuk dipertahankan?
Tapi, yang gue gak tau,
atau memang udah bisa dibayangin sebelumnya, saat gue bilang hal ini ke orangtua,
mereka nggak sependapat dengan gue. Tentunya dengan alasan tertentu.
Awalnya gue susah banget buat nerima. Gue udah nyaman-nyamannya sama dia, dia juga merasakan hal yang sama, akan tetapi wejangan ini memang gak bisa buat diindahkan. Dengan berat hati, gue selalu memalingkan muka ketika ada notif dari dia di henpon gue. Sms nanya kabar, telpon karna mungkin khawatir sama gue, beberapa chat yang gak pernah gue buka lagi, membuat hati gue jadi sangat miris. Gue gak minta hal ini, tapi ada "alasan" yang memaksa gue untuk melakukannya. Sebuah kalimat tipis berbisik lirih di hati gue sampai hari ini: "maafin aku..."
Hingga, semuanya berlalu hampir satu tahun.
Gue menjalani hari-hari seperti biasanya. Gue tetep menjadi diri gue sendiri. Dan gue pun masih sendiri. Kesendirian ini mengundang beberapa orang yang rentan singgah dalam hidup gue. Gue jadi sering ketemuan sama orang-orang. Bukan berarti kalo gue ketemu sama orang terus gue langsung jatuh hati. Nggak. Gue bukan orang yang seperti dulu.
Alasannya simpel: karena gue gak mau salah pilih lagi.
Gue jadi belajar banyak dari apa yang pernah gue alamin. Gue pernah jadian sama orang hampir dua tahun, tapi kandas di tengah jalan, karena gue telat mengetahui latar belakangnya dia yang sebenernya kayak gimana. Gue pernah deket sama orang, tapi berhenti di tengah-tengah, karena terhalang restu orangtua. Gue juga pernah suka sama orang, udah sama-sama nyaman, tapi berhenti berhubungan karena kebodohan gue sendiri.
Ini mungkin yang menjadi problem gue saat ini.
Dalam beberapa pengalaman gue sama cewek, lama-kelamaan, seiring gue gagal, gue jadi sering nyuekin mereka. Nggak memperdulikan lagi. Tanpa ada hubungan apa-apa lagi. Seperti orang yang baru putus, setelah udah berpisah, mereka berubah menjadi orang asing. Orang yang tidak kita kenal lagi. Padahal pernah sama-sama membahagiakan.
Bagaimana bisa, kita menahan perasaan yang bergejolak saat sudah merasakan bahagia, lalu harus merelakan kebahagiaan itu pergi menjauh. Bagaimana bisa, kita bisa dengan legowo melepas kepergian seseorang disaat orang itu pernah memberi kita kenangan dan kebahagiaan yang manis. Mungkin, lebih baik kita harus bersikap seperti anak kecil, yang gak tau apa-apa.
tapi,
bagaimana kalau sudah terlanjur membuat orang bahagia?
gue hampir selalu suka diam-diam sama cewek. Ketika melihat ada cewek lewat, biasanya gue cuman butuh pandangan sekejap seperti kecepatan cahaya, lalu tiba-tiba..zleebb, gue langsung jatuh cinta. Biasanya pula, ketika udah berani nyoba ngubungin mereka, gue dikacangin habis-habisan. Kalaupun ada, yang bales direct message ke gue malah bidan-bidan gatel entah darimana.
Tapi, gue pernah deket dengan seseorang, dengan kecepatan lebih lamban dari biasanya.
Malam ini kembali mengingatkan gue pada tahun 2013,
dimana waktu itu
gue masih berada di masa SMA.
Gue kenal sama cewek ini waktu masa orientasi, dimana waktu itu zamannya anak-anak kelas XII seperti gue menjadi super idola bagi cewek-cewek yang baru masuk. Awalnya biasa aja, gak ada tanda-tanda kalo suatu hari nanti gue bakal bisa jalan terus have lunch sama dia. Tapi entah kenapa, perasaan gue waktu itu bilang: "gila, bungas banar inya nih.."
Lama-kelamaan, seiring berjalannya waktu di SMA, gue jadi tambah deket sama dia. Gue inget pernah bela-belain dateng tiap hari buat liat dia latian. Gue inget pernah janjian sama dia di kantin pas lagi istirahat. Gue inget dia waktu itu dengan polosnya dateng ke kantin seorang diri, terus gue tanya: "kenapa, kada belajaran kah?"
"Hehe.." dia senyum-senyum manis, "..bolos kak.."
Ajaib memang.
Dengan statusnya dia sebagai salah satu cewek populer di sekolah, dengan semudah itu dia melontarkan jawaban kepada orang yang stratanya sangat berbeda jauh dengan dia. Gue waktu itu adalah orang yang kalem, cupu, gak banyak omong, dan suka ngutang sama bibi kantin.
Kedekatan ini berlanjut hingga gue masuk kuliah. Dia pernah ngejanjiin gue buat ketemu pas gue udah pulang, pernah pula waktu itu dia bela-belain dateng pagi-pagi ke bandara untuk nganterin keberangkatan gue. Saat itu gue jadi mikir kembali: apa memang cocok hubungan ini untuk dipertahankan?
Tapi, yang gue gak tau,
atau memang udah bisa dibayangin sebelumnya, saat gue bilang hal ini ke orangtua,
mereka nggak sependapat dengan gue. Tentunya dengan alasan tertentu.
Awalnya gue susah banget buat nerima. Gue udah nyaman-nyamannya sama dia, dia juga merasakan hal yang sama, akan tetapi wejangan ini memang gak bisa buat diindahkan. Dengan berat hati, gue selalu memalingkan muka ketika ada notif dari dia di henpon gue. Sms nanya kabar, telpon karna mungkin khawatir sama gue, beberapa chat yang gak pernah gue buka lagi, membuat hati gue jadi sangat miris. Gue gak minta hal ini, tapi ada "alasan" yang memaksa gue untuk melakukannya. Sebuah kalimat tipis berbisik lirih di hati gue sampai hari ini: "maafin aku..."
Hingga, semuanya berlalu hampir satu tahun.
Gue menjalani hari-hari seperti biasanya. Gue tetep menjadi diri gue sendiri. Dan gue pun masih sendiri. Kesendirian ini mengundang beberapa orang yang rentan singgah dalam hidup gue. Gue jadi sering ketemuan sama orang-orang. Bukan berarti kalo gue ketemu sama orang terus gue langsung jatuh hati. Nggak. Gue bukan orang yang seperti dulu.
Alasannya simpel: karena gue gak mau salah pilih lagi.
Gue jadi belajar banyak dari apa yang pernah gue alamin. Gue pernah jadian sama orang hampir dua tahun, tapi kandas di tengah jalan, karena gue telat mengetahui latar belakangnya dia yang sebenernya kayak gimana. Gue pernah deket sama orang, tapi berhenti di tengah-tengah, karena terhalang restu orangtua. Gue juga pernah suka sama orang, udah sama-sama nyaman, tapi berhenti berhubungan karena kebodohan gue sendiri.
Ini mungkin yang menjadi problem gue saat ini.
Dalam beberapa pengalaman gue sama cewek, lama-kelamaan, seiring gue gagal, gue jadi sering nyuekin mereka. Nggak memperdulikan lagi. Tanpa ada hubungan apa-apa lagi. Seperti orang yang baru putus, setelah udah berpisah, mereka berubah menjadi orang asing. Orang yang tidak kita kenal lagi. Padahal pernah sama-sama membahagiakan.
Bagaimana bisa, kita menahan perasaan yang bergejolak saat sudah merasakan bahagia, lalu harus merelakan kebahagiaan itu pergi menjauh. Bagaimana bisa, kita bisa dengan legowo melepas kepergian seseorang disaat orang itu pernah memberi kita kenangan dan kebahagiaan yang manis. Mungkin, lebih baik kita harus bersikap seperti anak kecil, yang gak tau apa-apa.
tapi,
bagaimana kalau sudah terlanjur membuat orang bahagia?
0 komentar:
Posting Komentar