Some stories a long long long time ago.
Rasanya pengen banget buat pergi, tapi gue udah terlanjur janji sama temen-temen gue untuk pergi ke Bandung. Walopun kadang gue heran juga, kenapa gue engga ngajak adek-adek dari kontingen lain, masukin dalam mobil, dan ngedate bareng mereka dengan penuh suka cita.
Hidup memang engga adil.
Gue berangkat pesiar ke Bandung bareng 7 temen gue dan 2 buah iPad. Rencananya ngajakin iPad sih biar bisa diandalkan sebagai penunjuk jalan bagi kami yang notabene sangat amat buta dengan dunia luar sini.
Dengan diiringi doa restu, kami pun memulai perjalanan dengan membawa mobil sewaan.
Setelah berdoa dan kali ini dengan birama 4/4, kami pun memulai perjalanan dengan sang supir: Master Mister Agusty Bayu, S.STP.
Ternyata, setelah ditelusuri lebih dalam, dan dicermati, dan diamati dengan seksama...: ternyata PVJ engga jauh-jauh amat yah. Dalam hitungan satu setengah jam kami pun tiba di kawasan Paris Van Java, Bandung.
Sesampainya di PVJ, gue langsung bawa mobil ke parkiran lantai atas, dan di saat itulah sodara-sodaraku sekalian, mobil itu mulai sakit. Namanya juga mobil sewaan yang engga tau kualitas mobilnya ori ato KW.
Gue baru aja bawa mobil satu lantai sebelum tiba-tiba tercium bau kebakar. Panik. Ya, tentu gue panik. Bau apa itu? Gue meriksa celana. Ternyata gue engga kecepirit. Gue lalu nanya ke temen-temen. Maka terjawablah pertanyaan itu.
'Kampas kopling'
'Hah?'
'Iya, kampas koplingnya kebakar.' Ovy menjawab dengan gaya berpengalaman dan rasa penuh sok tau. 'Cepat, kita kembali aja ke kampus.'
Hal pertama yang terlintas di kepala: kampret!
Hal kedua yang terlintas di kepala: mampus gue!
Gue mencoba stay cool di depan temen-temen. Oke, ini bisa diatasi dengan mudah.
'Masa kita balik sih, kan baru aja masuk.'
'Daripada nanti mobil nya mati total dan engga bisa jalan lagi. Kamu mau kita kena BAP di kampus cuma gara-gara kemogokan mobil di parkiran? Engga elit banget kan.'
'Yakin nih kita balik?'
'Ini satu-satunya harapan kita!' Ovy berkata sok keren seperti di film-film Indosiar.
Semantara gue hanya mendesah: 'Yaaaaahhhh...'
Dengan terpaksa, gue balik dari PVJ dan engga berani matiin mesin mobil pas berhenti, takutnya di tengah jalan nanti mobilnya kumat lagi. Tidak berapa lama kemudian, berkat doa dan permohonan tulus satpam-satpam PVJ, akhirnya mobil sewaan itu pun dapat berjalan dengan baik kembali. Hati senang dan riang gembira, syalalalala...
Satu hal lagi yang kami pikirin saat itu: bagaimana arah menuju pulang??
Kebrutalan dalam menyetir, dilengkapi dengan ketololan gue dalam menghapal jalan. Dengan mobil sewaan itu pula gue sukses membawa temen-temen gue nyasar ke berbagai daerah di Bandung. Karena batere iPad sebagai penunjuk jalan udah abis, gaya menyetir dan menentukan arah gue semuanya ditentukan oleh satu hal: feeling.
'Yakin nih lewat sini?' kata Adly saat gue lagi konsentrasinya nyetir.
'Iya yakin.' gue memegang setir dengan mantap.
'Di depan ada perempatan tuh, belok mana ya? Aduh aku lupa,' Adly khawatir.
'Tenang,' gue memutar setir ke kanan.
'Oh ke kanan. kamu udah hapal ternyata?'
'Kaga.'
'Lho? Kok belok kanan?'
'Pake feeling doang,' gue nunjuk dada sambil nyengir. Gaya.
'Pake feeling?' alis Adly naik. 'Kamu yakin? Kita balik ke Jatinangor loh, udah hampir jam 7 nih nanti telat.'
'Trust me.'
Lima belas menit kemudian, terpampang besar-besar papan di atas jalan tol: Selamat Jalan Dari Kota Bandung.
Mereka semua ngeliatin gue, lalu bilang dengan sepenuh hati: BUNGUL IKAM NIH!
Eniwei, engga cukup kegoblokan gue dalam menyetir, tapi bawa mobil malam-malam di kota Bandung dengan mata yang minusnya lumayan parah juga cukup membuat deg-degan. Satu hal yang paling gue takutin adalah pas lagi nyetir di Bandung gini, tiba-tiba gue nabrak orang lewat dan gue cuman mikir: 'Ah, palingan cuma kucing lewat.'
Terlepas dari semua ketakutan dan keterbelakangan itu, gue tetep mengarungi daerah Bandung dengan perlahan-lahan dan lemah gemulai. Kemampuan offroading gue dulu, gue kerahkan sepenuhnya buat balik ke Jatinangor. Dengan kecepatan hampir 100km/jam, mobil sewaan itu melesat kencang di jalanan kota.
Ini mending jalannya ke arah yang benar, kami malah makin kesasar ke daerah-daerah antah berantah. Semua orang di mobil termasuk gue semakin panik. Keringat bercucuran di tubuh gue, karena gue takut dibilang sebagai tersangka yang telah menyesatkan teman-temannya sendiri di Bandung. Berbagai orang di pinggir jalan kami tanyain buat nanya arah pulang yang benar, tapi tetep kami engga menemukan jalan tol seperti kami pertama pergi tadi. Sementara waktu sudah hampir menunjukkan pukul 7.
Diantara semua kepanikan yang sangat parah itu, salah satu temen gue teriak:
'Eh, bukannya itu gedung apartemen di depan kampus?!'
'Mana? Mana? Mana?,' gue celingak-celinguk untuk memastikan apakah yang dikatakan temen gue tiu benar.
'Iya, iya, benar, itu apartemen. Kita udah di Jatinangor!'
'Hah? Yakin? Kita belum ada ngelewatin jalan tol dari tadi.'
'Iya bener, itu coba liat, bener kan.'
'Iya, iya, iya, bener, bener, kita udah sampai, kita udah di Jatinangor! Kyyyaaaaaaaaaaa...' gue teriak kaya cewe-cewe remaja ababil.
Tawa menggelegar di dalam mobil sewaan sakit itu.
Ternyata kami melewati jalan memutar yang jaraknya lebih deket sampe ke Jatinangor. Pantesan aja dari tadi gue engga nemuin jalan tol, eh tau-taunya... di depan mata sudah terlihat megahnya gerbang IPDN.
Kami semua masih engga percaya udah bisa nyampe secepat ini, bahkan percakapan besok harinya di kampus adalah mengenai kegoblokan gue dalam menyesatkan temen-temen di daerah Bandung.
Dan setelah itu banyak gosip beredar, bahwa gue memang memiliki ilmu sesat.
Rasanya pengen banget buat pergi, tapi gue udah terlanjur janji sama temen-temen gue untuk pergi ke Bandung. Walopun kadang gue heran juga, kenapa gue engga ngajak adek-adek dari kontingen lain, masukin dalam mobil, dan ngedate bareng mereka dengan penuh suka cita.
Hidup memang engga adil.
Gue berangkat pesiar ke Bandung bareng 7 temen gue dan 2 buah iPad. Rencananya ngajakin iPad sih biar bisa diandalkan sebagai penunjuk jalan bagi kami yang notabene sangat amat buta dengan dunia luar sini.
Dengan diiringi doa restu, kami pun memulai perjalanan dengan membawa mobil sewaan.
Setelah berdoa dan kali ini dengan birama 4/4, kami pun memulai perjalanan dengan sang supir: Master Mister Agusty Bayu, S.STP.
Ternyata, setelah ditelusuri lebih dalam, dan dicermati, dan diamati dengan seksama...: ternyata PVJ engga jauh-jauh amat yah. Dalam hitungan satu setengah jam kami pun tiba di kawasan Paris Van Java, Bandung.
Sesampainya di PVJ, gue langsung bawa mobil ke parkiran lantai atas, dan di saat itulah sodara-sodaraku sekalian, mobil itu mulai sakit. Namanya juga mobil sewaan yang engga tau kualitas mobilnya ori ato KW.
Gue baru aja bawa mobil satu lantai sebelum tiba-tiba tercium bau kebakar. Panik. Ya, tentu gue panik. Bau apa itu? Gue meriksa celana. Ternyata gue engga kecepirit. Gue lalu nanya ke temen-temen. Maka terjawablah pertanyaan itu.
'Kampas kopling'
'Hah?'
'Iya, kampas koplingnya kebakar.' Ovy menjawab dengan gaya berpengalaman dan rasa penuh sok tau. 'Cepat, kita kembali aja ke kampus.'
Hal pertama yang terlintas di kepala: kampret!
Hal kedua yang terlintas di kepala: mampus gue!
Gue mencoba stay cool di depan temen-temen. Oke, ini bisa diatasi dengan mudah.
'Masa kita balik sih, kan baru aja masuk.'
'Daripada nanti mobil nya mati total dan engga bisa jalan lagi. Kamu mau kita kena BAP di kampus cuma gara-gara kemogokan mobil di parkiran? Engga elit banget kan.'
'Yakin nih kita balik?'
'Ini satu-satunya harapan kita!' Ovy berkata sok keren seperti di film-film Indosiar.
Semantara gue hanya mendesah: 'Yaaaaahhhh...'
Dengan terpaksa, gue balik dari PVJ dan engga berani matiin mesin mobil pas berhenti, takutnya di tengah jalan nanti mobilnya kumat lagi. Tidak berapa lama kemudian, berkat doa dan permohonan tulus satpam-satpam PVJ, akhirnya mobil sewaan itu pun dapat berjalan dengan baik kembali. Hati senang dan riang gembira, syalalalala...
Satu hal lagi yang kami pikirin saat itu: bagaimana arah menuju pulang??
Kebrutalan dalam menyetir, dilengkapi dengan ketololan gue dalam menghapal jalan. Dengan mobil sewaan itu pula gue sukses membawa temen-temen gue nyasar ke berbagai daerah di Bandung. Karena batere iPad sebagai penunjuk jalan udah abis, gaya menyetir dan menentukan arah gue semuanya ditentukan oleh satu hal: feeling.
'Yakin nih lewat sini?' kata Adly saat gue lagi konsentrasinya nyetir.
'Iya yakin.' gue memegang setir dengan mantap.
'Di depan ada perempatan tuh, belok mana ya? Aduh aku lupa,' Adly khawatir.
'Tenang,' gue memutar setir ke kanan.
'Oh ke kanan. kamu udah hapal ternyata?'
'Kaga.'
'Lho? Kok belok kanan?'
'Pake feeling doang,' gue nunjuk dada sambil nyengir. Gaya.
'Pake feeling?' alis Adly naik. 'Kamu yakin? Kita balik ke Jatinangor loh, udah hampir jam 7 nih nanti telat.'
'Trust me.'
Lima belas menit kemudian, terpampang besar-besar papan di atas jalan tol: Selamat Jalan Dari Kota Bandung.
Mereka semua ngeliatin gue, lalu bilang dengan sepenuh hati: BUNGUL IKAM NIH!
Eniwei, engga cukup kegoblokan gue dalam menyetir, tapi bawa mobil malam-malam di kota Bandung dengan mata yang minusnya lumayan parah juga cukup membuat deg-degan. Satu hal yang paling gue takutin adalah pas lagi nyetir di Bandung gini, tiba-tiba gue nabrak orang lewat dan gue cuman mikir: 'Ah, palingan cuma kucing lewat.'
Terlepas dari semua ketakutan dan keterbelakangan itu, gue tetep mengarungi daerah Bandung dengan perlahan-lahan dan lemah gemulai. Kemampuan offroading gue dulu, gue kerahkan sepenuhnya buat balik ke Jatinangor. Dengan kecepatan hampir 100km/jam, mobil sewaan itu melesat kencang di jalanan kota.
Ini mending jalannya ke arah yang benar, kami malah makin kesasar ke daerah-daerah antah berantah. Semua orang di mobil termasuk gue semakin panik. Keringat bercucuran di tubuh gue, karena gue takut dibilang sebagai tersangka yang telah menyesatkan teman-temannya sendiri di Bandung. Berbagai orang di pinggir jalan kami tanyain buat nanya arah pulang yang benar, tapi tetep kami engga menemukan jalan tol seperti kami pertama pergi tadi. Sementara waktu sudah hampir menunjukkan pukul 7.
Diantara semua kepanikan yang sangat parah itu, salah satu temen gue teriak:
'Eh, bukannya itu gedung apartemen di depan kampus?!'
'Mana? Mana? Mana?,' gue celingak-celinguk untuk memastikan apakah yang dikatakan temen gue tiu benar.
'Iya, iya, benar, itu apartemen. Kita udah di Jatinangor!'
'Hah? Yakin? Kita belum ada ngelewatin jalan tol dari tadi.'
'Iya bener, itu coba liat, bener kan.'
'Iya, iya, iya, bener, bener, kita udah sampai, kita udah di Jatinangor! Kyyyaaaaaaaaaaa...' gue teriak kaya cewe-cewe remaja ababil.
Tawa menggelegar di dalam mobil sewaan sakit itu.
Ternyata kami melewati jalan memutar yang jaraknya lebih deket sampe ke Jatinangor. Pantesan aja dari tadi gue engga nemuin jalan tol, eh tau-taunya... di depan mata sudah terlihat megahnya gerbang IPDN.
Kami semua masih engga percaya udah bisa nyampe secepat ini, bahkan percakapan besok harinya di kampus adalah mengenai kegoblokan gue dalam menyesatkan temen-temen di daerah Bandung.
Dan setelah itu banyak gosip beredar, bahwa gue memang memiliki ilmu sesat.