Pada
awal tulisan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada pencipta jiwa
dan raga ini, Allah SWT, yang telah memberikan berkah yang sangat luar biasa
berupa kesehatan dan umur yang panjang. Realitas tertinggi yang tak akan dapat
terjabarkan oleh jutaan puisi dan kata-kata, segala karunia-Mu di seluruh jagat
raya menjadi inspirasi dalam setiap karya, segala puji seluas langit dan seluas
bumi hanya kepada-Mu. Juga kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, manusia
sempurna yang pernah terlahir di dunia ini sebagai penerang sekaligus penuntun
ke jalan yang benar.
Tuhan, lewat
tulisan ini aku ingin berbincang sebentar. Menitipkan surat kecil ini.
Kutuangkan berjibun kata-kata dan harapan yang sulit kuungkapkan.
Namaku
Bayu. Lengkapnya Bayu Firdaus Agustyannoor, yang memiliki arti ‘Angin Surga Firdaus Di Bulan Agustus’.
Aku dulu terlahir dari keluarga yang bisa dibilang sederhana. Waktu ibuku masih
mengandung, ibuku masih yudisium sarjana. Sedangkan ayahku waktu itu masih
bekerja di Dinas Kesehatan. Aku dilahirkan di kota Rantau, tepatnya hari Kamis
tanggal 31 Agustus 1995. Di kota itulah aku dibesarkan mulai dari kutu dalam
rahim hingga besar seperti sekarang.
Kegiatan
akademisku dimulai dari umur 4 tahun. Aku bersekolah di TK Tunas Tapin. Tidak
banyak yang kuingat pada waktu aku bersekolah disini. Yang kuingat hanyalah aku
dulu suka merengek minta pulang.
Dan
pada umur 6 tahun, aku bersekolah dasar di SDN Rangda Malingkung 5, tidak jauh
dari rumahku. Dari kelas 1 sampai kelas 3 aku masih menggunakan jasa
antar-jemput. Tapi setelah aku dibelikan sepeda dan diajarkan ayahku, aku mulai
berani pergi ke sekolah sendiri.
Banyak
hal yang aku dapat dari sekolah ini, seperti persahabatan yang sampai sekarang
masih terjalin, dan sering sekali kami berkumpul bersama walaupun tidak semua
datang karena kesibukan masing-masing.
Setelah
aku lulus SD, aku ragu-ragu ingin melanjutkan ke sekolah mana. Aku ragu apakah
harus ke MTsN 2 atau SMPN 1. MtsN 2 letaknya sangat dekat dengan rumahku, cukup
dengan naik sepatu alias jalan kaki sampai ke sekolah tersebut. Tapi ayahku
memberikan satu syarat, kalau aku sekolah ke SMPN 1, ayahku akan membelikan
motor untuk pulang-pergi ke sekolah. Dan akhirnya, aku memilih untuk
melanjutkan ke SMPN 1. Walaupun jaraknya cukup jauh, tapi akhirnya aku
dibelikan ayahku sebuah motor. Satria-F, itulah kuda besi milikku.
Dari
sekian banyak siswa-siswi yang mendaftar di SMPN 1, akhirnya aku lulus tes
dengan peringkat ke-8. Aku senang sekali bisa diterima disekolah itu. Awal aku
menduduki masa-masa SMP serasa berbeda sekali. Kelas VII dari semester 1 sampai
semester 2 aku memasuki peringkat 10 besar. Walaupun tidak masuk ke 3 besar,
itu tidak membuatku malas untuk belajar lebih giat.
Di
kelas, aku terkenal sebagai murid yang pendiam. Aku tidak banyak bergaul dengan
teman-teman yang lain. Sehingga, sering kali aku duduk-duduk dan melamun
sendiri waktu pelajaran kosong.
Waktu
aku naik ke kelas VIII, aku mulai bisa bergaul dengan teman-teman yang lain.
Bahkan aku sempat ‘menjabat’ sebagai ketua kelas. Di kelas VIII ini juga, aku
mulai mengenal seseorang. Bukan yang pertama, tapi untuk yang terakhir di dalam
hidupku.
Mungkin
aku akan menceritakan sedikit tentang sejarah singkat pertemuan cinta ini.
Waktu itu aku adalah salah satu anggota pramuka setengah rajin. Perkemahan di
luar daerah tentu yang pertama kalinya bagiku. Sekolahku mengirimkan satu regu
laki-laki dan satu regu perempuan. Ada salah seorang kaum hawa yang diam-diam
aku sukai. Namanya Nana Lufiana. Tapi, mungkin saat itu aku masih bocah
sehingga tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaan suka ini.
Hari-hari yang menyenangkan di bumi perkemahan seperti sebuah restu akan
hadirnya sebuah perasaan cinta yang mendalam. Berbagai kegiatan kepramukaan
semakin mendekatkan kami sehingga kami menjadi teman dekat.
Seminggu
setelah pulang dari perkemahan, aku diikutsertakan dalam sebuah lomba FLS2N (Festival
& Lomba Seni Siswa Nasional) di Banjarbaru. Aku memiliki bakat seni yang
jarang dimiliki oleh anak laki-laki, yaitu seni tari daerah Tirik Lalan.
Lomba
tersebut diselenggarakan selama 3 hari. Hari kedua, tepatnya tanggal 8 Mei 2009,
sesaat sebelum waktunya shalat Jumat, aku mendapatkan telepon dari seorang yang
ku sukai, Nana, yang entah kenapa belum pulang dari sekolah. Aku kurang ingat
tentang pembicaraan kami waktu itu, tapi setelah itu kami sambung dengan saling
kirim SMS. Dia curhat, dan saat membaca SMS dari nya, dia mengungkapkan segala
perasaan tersembunyinya padaku. Tuiiinngg!
Aku serasa terbang melayang lalu jatuh nyungsep karena tidak pakai sayap.
Jantungku yang sebelumnya berdetak normal, sekarang menjadi abnormal karena
berdegup sangat kencang.
Sejak
pembicaraan yang mengesankan itu, hubunganku dengan gadis yang bernama Nana
Lufiana berlanjut menjadi hubungan yang dihiasi bintang-bintang bercahayakan
rona-rona asmara. Dan atas pendekatan yang serius, aku pun jadi klepek-klepek.
Di
kelas IX, aku mulai khawatir kalau nilaiku tahun ini tidak baik. Karena di
tahun ini, aku akan menghadapi ujian. Kegiatan-kegiatan pelajaran tambahan di
sekolahpun kuikuti. Bahkan aku ikut bimbel di Primagama untuk menambah prestasi
belajarku.
Saat-saat
sebelum ujian nasional tiba, aku mengikuti try out di sekolah, dan hasilnya
sangat memuaskan, aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan pada semua mata
pelajaran.
Ujian
nasional pun tiba !!
Dengan
penuh rasa percaya diri plus grogi, aku memberanikan diri untuk tidak menyontek
dalam ujian. Hasilnya sangat memuaskan, dengan nilai rata-rata diatas delapan
aku berhasil lulus dalam ujian nasional. Dan begitu pula dengan nilai ujian
sekolahku. Hati beta senang sekali. Akhirnya beta bisa lulus ujian juga. Yeeeeeee...
Akhirnya
aku bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. SMAN 1 Rantau, itulah
tujuanku. Aku memilih sekolah disini karena SMAN 1 adalah salah satu SMA
favorit.
Ada
sebagian orang yang mengatakan, masa-masa SMA adalah masa dimana seseorang mencari
jati diri. Dan di sekolah ini aku benar-benar mendapatkan banyak hal baru.
Mulai dari teman-teman baru dan beberapa pengalaman-pengalaman seru bersama
teman-teman.
Aku
akhirnya memilih untuk masuk kelas unggulan. XA, itulah kelasku. Di kelas unggulan
ini berbeda dengan kelas reguler lain. Fasilitasnya lebih lengkap. Seragamnya
pun beda dengan kelas lain ketika hari Rabu-Kamis. Jam pelajarannya juga
bertambah hingga pukul 4 sore. Awalnya aku merasa lelah dan ngantuk, tapi
lama-kelamaan aku sudah terbiasa.
Guru
wali kelas kami bernama Annie Wahyuni, S.Pd, yaitu kaka sepupuku sendiri. Aku
jadi lebih mudah bertanya soal pelajaran-pelajaran di sekolah. Kadang-kadang,
aku juga sering bercerita dengan beliau tentang kelakuan-kelakuan teman-temanku
yang menyebalkan.
Aku
mempunyai hobi nonton film. Aku adalah salah satu penggemar film, atau sering
orang menyebutnya maniac film. Aku selalu mendownload dan mengumpulkan berbagai
macam genre film, mulai dari action, animation fiction, sci-fi, fantasy, drama,
comedy, horror, hingga thriller. Produksinya pun ada yang dari dalam dan luar
negeri.
Pada
waktu santai di sekolah, aku selalu berbagi film dengan teman-temanku. Sering
kali kami sekelas nonton bareng dengan menggunakan LCD, jadi kami merasa
seperti nonton di bioskop.
Film
yang paling kugemari adalah Final Destination. Film itu menceritakan sekelompok
orang yang mencurangi Kematian. Film itu menampilkan berbagai macam kematian
yang mengerikan dengan cara yang tidak wajar. Karena itulah, aku sangat
menyukai film tersebut.
Aku
juga menyukai pelajaran bahasa Inggris. Hal apapun yang mengenai bahasa
Inggris, seperti lagu. Aku lebih menyukai lagu dari luar negeri ketimbang dari
negara sendiri. Lagu dari negara sendiri, menurutku sangat tidak bermutu karena
selalu mengobral masalah cinta. Karena aku seorang maniac film, aku suka
mentranslate subtitle bahasa Inggris. Karena seringnya aku mentranslate, aku
semakin memahami arti dari berbagai kata bahasa Inggris.
Nilaiku
ketika di SMA ini mulai merosot tajam. Ketika ulangan semester 1, ada satu mata
pelajaran yang belum tuntas. Sedangkan nilai-nilai mata pelajaran yang lainnya,
hanya sebatas KKM saja. Aku khawatir kalau nanti aku sempat tidak naik kelas.
Dan mulai saat itu, aku berusaha untuk meningkatkan prestasi belajarku. Karena
targetku untuk masuk jurusan nanti, adalah masuk jurusan IPA.
Di
kelas X ini, aku mengikuti kegiatan ekstrakulikuler Paskibra di sekolah untuk
memilih anggota-anggota untuk calon Paskibra di kabupaten. Alhamdulillah, aku
lulus seleksi di kabupaten berkat kesigapanku. Di kabupaten, anggota yang
terpilih dari berbagai sekolah di seleksi lagi untuk menjadi Paskibra resmi di
Kabupaten dan yang terbaik akan dikirim ke tingkat provinsi. Sayang, aku gugur
dalam pemilihan di tingkat provinsi, dan aku hanya menjalani sebagai Paskibra
Kabupaten Tapin.
Tapi
selang satu malam, aku mendapat telepon dari pembimbing Paskibra, bapa Reza,
bahwa aku dimasukkan ke Paskibra tingkat provinsi. Masa-masa karantina selama 4
hari di MAN 2 Model Banjarmasin, membawa kegembiraan tersendiri bagiku. Kebersamaan
yang terjalin hingga membuat kami semua seperti sudah menjadi saudara, walaupun
kami cuma beberapa hari disana. Aku gagal. Aku sadar, mungkin hanya karena aku
Paskibra panggilan, sehingga aku tidak diterima disana. Walaupun begitu, aku
tetap semangat, aku masih diterima sebagai anggota Paskibra di kabupaten.
Di
semester 2, grafik nilai-nilaiku sedikit meningkat. Nilai akhirku di atas KKM
semua dan akhirnya aku masuk ke jurusan yang aku inginkan. IPA 1, itulah
kelasku. Dan lagi-lagi, kaka sepupuku kembali menjadi wali kelasku tahun ini. Di
kelas ini, serasa berbeda sekali. Mungkin karena pelajaran-pelajaran IPA yang
memusingkan kepala. Tapi, untungnya di semester pertama aku masuk dalam urutan
ke 9 dari 10 besar. Hasil yang cukup memuaskan, karena di kelas X aku belum
beruntung memasuki 10 besar. Di kelas ini, siswa laki-lakinya cuma 8 orang.
Sedikit memang, karena kami berdelapan memang siswa pilihan untuk bisa masuk di
kelas ini.
Di
kelas XI ini juga, persahabatan-persahabatan semakin terjalin erat. Aku dan
teman-temanku di kelas IPA lainnya membentuk sebuah perkumpulan persahabatan,
sebut saja DancoBroders. Awalnya kami hanya iseng menggunakan kata Danco, yang
dalam bahasa Jawa berarti bodoh. Mungkin itu cocok dengan kelakuan-kelakuan
kami yang bodoh dan konyol.
DancoBroders awalnya terbentuk berkat kebersamaan yang dijalin karena persamaan pergaulan
dalam sekolah. Nongkrong sepulang sekolah yang diselingi oleh canda dan tawa,
meskipun ada kontaminasi antara sifat alami kami satu sama lain. Kami juga mempunyai
markas tersendiri, yaitu di rumahku. Kami menyebutnya Danco Camp. Tiap hari
rumahku pasti tidak pernah sepi, lantaran teman-temanku selalu datang untuk
nongkrong disana. Kerjaan kami tiap hari keluyuran tidak keruan entah kemana.
Dan setiap momen tersebut, selalu kami abadikan dengan sebuah foto.
Dan
inilah galeri Danco, foto dari berbagai tempat yang kami kunjungi:
Mungkin
karena terlalu asik berteman hingga lupa belajar, membuat nilai akhirku di
semester kedua sedikit mengecewakan. Aku gagal masuk 10 besar, dan peringkatku
menurun ke peringkat 12.
Di
tahun ini, tahun terakhir aku mengikuti Paskibra untuk yang kedua kalinya. Kali
ini aku dipercaya untuk menjadi pasukan utama, pasukan 9 pada sore hari. Aku
bertugas menurunkan sang bendera merah putih. Suatu kebanggaan yang amat sangat
bagiku. Karena pada tahun kemarin, aku belum bisa dipilih untuk mendapatkan
kesempatan yang sangat berharga ini.
Hari
demi hari latihan. Semua itu ku lakukan dengan semangat merah putih walupun
saat berpuasa, untuk memantapkan gerakan saat aku maju menjadi pasukan 9.
Pada pagi hari, aku tetap bertugas untuk
pengibaran sang merah putih walaupun hanya berada di pasukan depan.
Hingga
detik-detik untuk penurunan bendera putih, aku siap meluncurkan semangat
garudaku. Dengan rasa nasionalisme yang tinggi, derap langkah demi langkah ku
ayunkan dengan mantap.
Hatiku
berdebar-debar saat berdiri di depan, menghadapi wakil bupati Tapin, para
pejabat, veteran, dan ibu-ibu PKK. Aku berusaha tetap tenang, dan akhirnya sang
merah putih sudah ku raih, kulipat dengan sigap, dan kuserahkan pada pembawa
baki untuk disimpan oleh Pa Ahmad Fauzi, wakil bupati Tapin.
Aku
dinilai para pelatih dengan satu kata yang masih mengiang di telingaku,
“sempurna”. Perasaan bahagia terpancar di wajahku. Dan pada saat momen-momen
terakhir itu, aku menyempatkan berfoto sepuasnya dengan para pelatih,
pembimbing serta teman-temanku selama menjadi anggota Paskibra. Senang
bercampur rasa haru, mungkin itu yang kurasakan saat itu. Karena pada
tahun-tahun yang akan mendatang, aku tidak bisa lagi bertugas sebagai anggota
Paskibra pada 17 Agustus.
Akhirnya, tak terasa aku sudah menduduki kelas XII.
Tahun terakhir aku berstatus pelajar SMA. Keberhasilan yang akan ditentukan
oleh ujian nasional.